Ibu sebagaimana aku pernah berjanji denganmu bahwa aku tak kan pernah menyia-nyiakan sedikit pun pengorbananmu. Jangan pernah sedikitpun mendengarkan perkataan orang lain. Orang lain sebenarnya tak pernah tahu apapun yang menghuni dalam pikiranku dan apapun yang aku lakukan dibelakang mereka. Aku melihat engkau sedang tersenyum Ibu. Senyummu mengatakan kalau kau memang merestui setiap langkah kaki anakmu ini.
Orang mana yang bisa memberikan ketulusan sebesar ini kecuali engkau Ibu. Kau memang tak pernah banyak berkata namun alunan doa-doa yang kau panjatkan kepada Sang Illahi begitu deras terasa mengalir di lubuk hati anakmu yang selalu memilih jalan yang salah.
Mengingat jalan yang pernah kususuri. Kau pasti takkan pernah tega bila melihat telapak kaki tangan anakmu yang terus melepuh, berair dan akhirnya bernanah. Tapi takkan pernah aku mengijinkan kau melihat kondisi itu Bu. Karena hal itu akan menambah gurat-gurat kelelahan pada dirimu Bu. Cahaya matamu yang sudah terlalu sayu sepertinya tak pantas untuk disesaki dengan kondisi tubuh yang pernah menjadi bagian dari tubuhmu ini.
Iya Ibu ketika kau pisahkan aku dari bagian tubuhmu pastilah kau guyur tubuhku dengan wewangian hingga wanginya tercium sampai hidung-hidung para tetangga. Kau baluri kulitku dengan bedak beraroma rempah-rempah sampai kulitku berwarna kuning khas kulit rumpun keluarga kita, Asia. Rambutku yang panjang dan menghitam tentu kau-lah yang merawatnya dengan ramuan daun urang-aring dengan biji kemiri. Tak mengherankan bila ketika aku mulai beranjak dewasa banyak orang yang mencintai tubuh molekku, dan menginginkan rambutku yang panjang terurai. Aku tahu Ibu, pastilah kau lelah telah belasan tahun merawat sejengkal apapun yang ada pada diriku.
Bila kau memang terlalu lelah bolehlah kau merebahkan tubuhmu sejenak Ibu. Perlukah aku menabur bunga-bunga untuk pelengkap tidurmu? Aku akan masuk hutan dan mendaki gunung hanya untuk mencari bunga-bunga yang kau minta. Keindahan bunga-bunga gunung itu tak lebih indah dengan ketulusan dan kasih sayangmu Ibu.
Tapi Ibu hanya menggeleng. Ia hanya memintaku untuk menjulurkan selimut kumal ke seluruh badannya. Apakah kau sedang kedinginan Ibu? Ibu pun kembali menggeleng. Apa perlu aku peluk hingga kau merasakan kehangatan itu? Ahh tanpa aku berkata pastilah Ibu tak tahan dengan ribuan bakteri yang melekat pada tubuhku. Semenjak aku memutuskan untuk melewati jalan yang salah itu aku telah melupakan wewangian, bedak beraroma rempah-rempah, dan ramuan daun urang-aring.
Kemudian aku kembali bertanya, Apakah yang mungkin aku bisa lakukan untukmu Ibu? Ibu membisikkan sedikit kata-kata di liang telingaku. Setelah mendengar apa yang Ibu bisikkan terhadapku, darahku terasa kental dan mulut ini seolah terkunci. Dengan perasaan menyesal, bisakah kau meminta yang lain Ibu? Sungguh aku menyesal ketika aku tak pernah bersedia ketika kau menyuruhku untuk menghadap Tuhanmu. Apalagi untuk mempelajari kitab suci-Nya.
Ibu malah tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Yach seperti dulu setiap aku habis menjahili anak-anak yang biasa mandi di empang dekat rumahku. Ibu kau masih ingat saja kenakalanku ketika aku masih kecil. Tapi aku bahagia sekali memiliki Ibu sepertimu. Senakal apapun aku hingga dewasa kini kau tak pernah sekali pun memarahiku. Menggores sejengkal kulit kuningku dengan sapu lidi agar aku jera. Iya kau selalu memberiku senyum dan mengulurkan tanganmu yang lembut agar aku mampu berdiri kembali dan pastilah harapanmu adalah aku tak kembali mengulangi kenakalanku.
Orang mana yang bisa memberikan ketulusan sebesar ini kecuali engkau Ibu. Kau memang tak pernah banyak berkata namun alunan doa-doa yang kau panjatkan kepada Sang Illahi begitu deras terasa mengalir di lubuk hati anakmu yang selalu memilih jalan yang salah.
Mengingat jalan yang pernah kususuri. Kau pasti takkan pernah tega bila melihat telapak kaki tangan anakmu yang terus melepuh, berair dan akhirnya bernanah. Tapi takkan pernah aku mengijinkan kau melihat kondisi itu Bu. Karena hal itu akan menambah gurat-gurat kelelahan pada dirimu Bu. Cahaya matamu yang sudah terlalu sayu sepertinya tak pantas untuk disesaki dengan kondisi tubuh yang pernah menjadi bagian dari tubuhmu ini.
Iya Ibu ketika kau pisahkan aku dari bagian tubuhmu pastilah kau guyur tubuhku dengan wewangian hingga wanginya tercium sampai hidung-hidung para tetangga. Kau baluri kulitku dengan bedak beraroma rempah-rempah sampai kulitku berwarna kuning khas kulit rumpun keluarga kita, Asia. Rambutku yang panjang dan menghitam tentu kau-lah yang merawatnya dengan ramuan daun urang-aring dengan biji kemiri. Tak mengherankan bila ketika aku mulai beranjak dewasa banyak orang yang mencintai tubuh molekku, dan menginginkan rambutku yang panjang terurai. Aku tahu Ibu, pastilah kau lelah telah belasan tahun merawat sejengkal apapun yang ada pada diriku.
Bila kau memang terlalu lelah bolehlah kau merebahkan tubuhmu sejenak Ibu. Perlukah aku menabur bunga-bunga untuk pelengkap tidurmu? Aku akan masuk hutan dan mendaki gunung hanya untuk mencari bunga-bunga yang kau minta. Keindahan bunga-bunga gunung itu tak lebih indah dengan ketulusan dan kasih sayangmu Ibu.
Tapi Ibu hanya menggeleng. Ia hanya memintaku untuk menjulurkan selimut kumal ke seluruh badannya. Apakah kau sedang kedinginan Ibu? Ibu pun kembali menggeleng. Apa perlu aku peluk hingga kau merasakan kehangatan itu? Ahh tanpa aku berkata pastilah Ibu tak tahan dengan ribuan bakteri yang melekat pada tubuhku. Semenjak aku memutuskan untuk melewati jalan yang salah itu aku telah melupakan wewangian, bedak beraroma rempah-rempah, dan ramuan daun urang-aring.
Kemudian aku kembali bertanya, Apakah yang mungkin aku bisa lakukan untukmu Ibu? Ibu membisikkan sedikit kata-kata di liang telingaku. Setelah mendengar apa yang Ibu bisikkan terhadapku, darahku terasa kental dan mulut ini seolah terkunci. Dengan perasaan menyesal, bisakah kau meminta yang lain Ibu? Sungguh aku menyesal ketika aku tak pernah bersedia ketika kau menyuruhku untuk menghadap Tuhanmu. Apalagi untuk mempelajari kitab suci-Nya.
Ibu malah tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Yach seperti dulu setiap aku habis menjahili anak-anak yang biasa mandi di empang dekat rumahku. Ibu kau masih ingat saja kenakalanku ketika aku masih kecil. Tapi aku bahagia sekali memiliki Ibu sepertimu. Senakal apapun aku hingga dewasa kini kau tak pernah sekali pun memarahiku. Menggores sejengkal kulit kuningku dengan sapu lidi agar aku jera. Iya kau selalu memberiku senyum dan mengulurkan tanganmu yang lembut agar aku mampu berdiri kembali dan pastilah harapanmu adalah aku tak kembali mengulangi kenakalanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar